Aku tidak istimewa, namun kisahku istimewa bagi
mereka yang bertaruh nyawa memperjuangkanku. Jatuh bangun mempertahankanku
hingga mengikrarkan sumpah
demi menjamin kelangsungan hidupku. Akulah bagian sejati bangsa ini, bangsa Indonesia.
Hidup
dalam rumpun Austronesia, aku, mulai diperdengungkan di mata dunia sebagai lingua franca dalam kegiatan perdagangan dan
keagamaan di Nusantara sejak abad ketujuh. Namaku tersohor hingga ke pelosok
negara tetangga. Migrasi dari satu tempat
ke tempat lain,
menjadikanku jembatan bagi mereka yang ingin bercakap satu dengan yang lainnya.
Aku sempat berpikir, siapakah orang yang
pertama kali menyadari kehadiranku dan memperkenalkanku pada wajah-wajah baru
dunia? Siapakah orang itu? Apakah ia
yang menulis catatan pertama di pesisir tenggara pulau Sumatera? Ataukah mereka
yang tinggal dalam sebuah bangunan indah berukiran seni tanpa cacat yang disebut sebagai
Kerajaan Malayu? Ah… siapa pun Beliau, aku berbangga hati untuk menyematkan
rasa terimakasihku padanya.
Saat
itu, orang-orang memanggilku, Melayu. Aku bertandang ke seluruh pelosok
Nusantara bersama dengan mereka, sosok pejuang yang menyebarkan pengaruh agama
Islam di Nusantara. Tak kusangka aku mudah sekali diterima oleh masyarakat
Nusantara. Kudengar bahwa diriku menjadi penghubung antarsuku, antarkerajaan,
antarpulau dan
antarbangsa.
Aku tak mengerti, mencoba
mengerti tetapi sulit. Aku
bahkan disebut-sebut mempengaruhi tumbuhnya rasa persatuan bangsa Indonesia.
Aku
teringat masa itu, bertahun-tahun sebelum diriku diresmikan menjadi bagian dari Indonesia kini. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari keberadaanku dan
mulai mendengungkanku dalam kegiatan penjajahannya. Aku menjadi saksi bisu
kisah-kisah tragis dibalik semangat warga pribumi
yang berusaha keras mencapai kemerdekaannya. Aku, Melayu, menjadi penghubung
antara pemerintah Hindia-Belanda dengan pegawai pribumi. Melihat potensiku,
pemerintah mulai mempromosikanku di sekolah-sekolah zaman itu. Dalam diriku mulai
terbentuk sebuah “embrio” dan secara perlahan aku mulai merasakan bahwa diriku
akan terlahir kembali. Bukan, bukan sebagai Melayu seperti pertama di awal
kisahku.
Awal
abad ke-20, “embrio” itu mulai berkembang dalam diriku sampai akhirnya diriku
terpecah bersama “embrio” itu. Van Ophuijsen telahir bersama jiwaku yang baru.
Tak lama setelah itu, Van Ophuijsen, separuh jiwaku ini mulai diperdengungkan
dalam Kongres di Solo sekitar tahun 1983. Tak kusangka, kembali dengan diriku
yang baru, ternyata mampu mempengaruhi pemerintah
Hindia-Belanda untuk membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi.
Makin
hari diriku semakin berkembang. Bersama dengan perjuangan rakyat Indonesia, aku
pun turut mencari jati diriku. Menyatu dalam percakapan-percakapan serius dan
menantang dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, membuat diriku semakin
menyadari bahwa aku ada dan
akan terus ada dalam jiwa masyarakat Indonesia. Tonggak peresmianku mulai
digemuruhkan di Nusantara. Dari imajinasi pikiran tanpa batas Muhammad Yamin, aku, Melayu, diberi
gelar baru sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Dalam ikrar “Sumpah
Pemuda”, 28 Oktober 1928, aku lahir sebagai bagian baru bangsa ini,
bangsa Indonesia.
Namun ku tak habis piker, aku memang
tak hidup lagi dalam jeruji penjajahan semenjak tahun 1945 tetapi kian hari ku
makin mengalami kehilangan yang namanya jati diri. Rasa bangga terhadap perjuangan para patriot memudar dalam sekejap.
Aku mulai merasa bahwa diriku tak lagi seperti dulu, yang selalu diperdengungkan di setiap era. Entah
apa yang terjadi, bukan masalah waktu yang
terus berjalan, bukan pula masalah zaman yang senantiasa berkembang. Hanya saja
aku merasa semangat untuk memperjuangkan kelangsungan hidupku kian tersendat,
tercekik, menunggu mati dan menghilang. Aku tak berharap banyak dari kalian,
penikmat kemerdekaan bangsa. Satu pinta ku,
jangan lupakan Aku, ya? Bukan bermaksud ingin meninggikan
hati tapi tanpa diriku apalah jadinya bangsa ini? Tak ada
persatuan dan tak ada jaminan kemerdekaan.
Ah…
sedaritadi kusebut nama kecilku, mungkin beberapa dari kalian bingung dan tak mengenali diriku.
Ku telah tuturkan kisahku dan aku bangga menyebut
diriku sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Inilah aku, Bahasa Indonesia. (swn)