Minggu, 15 November 2015

Indonesia, Kisahku Hidup Dalam Jiwamu



Aku tidak istimewa, namun kisahku istimewa bagi mereka yang bertaruh nyawa memperjuangkanku. Jatuh bangun mempertahankanku hingga mengikrarkan sumpah demi menjamin kelangsungan hidupku. Akulah bagian sejati bangsa ini, bangsa Indonesia.
            Hidup dalam rumpun Austronesia, aku, mulai diperdengungkan di mata dunia sebagai lingua franca dalam kegiatan perdagangan dan keagamaan di Nusantara sejak abad ketujuh. Namaku tersohor hingga ke pelosok negara tetangga. Migrasi dari satu tempat ke tempat lain, menjadikanku jembatan bagi mereka yang ingin bercakap satu dengan yang lainnya. Aku sempat berpikir, siapakah orang yang pertama kali menyadari kehadiranku dan memperkenalkanku pada wajah-wajah baru dunia? Siapakah orang itu?  Apakah ia yang menulis catatan pertama di pesisir tenggara pulau Sumatera? Ataukah mereka yang tinggal dalam sebuah bangunan indah berukiran seni tanpa cacat yang disebut sebagai Kerajaan Malayu? Ah… siapa pun Beliau, aku berbangga hati untuk menyematkan rasa terimakasihku padanya.
            Saat itu, orang-orang memanggilku, Melayu. Aku bertandang ke seluruh pelosok Nusantara bersama dengan mereka, sosok pejuang yang menyebarkan pengaruh agama Islam di Nusantara. Tak kusangka aku mudah sekali diterima oleh masyarakat  Nusantara. Kudengar bahwa diriku menjadi penghubung antarsuku, antarkerajaan, antarpulau  dan  antarbangsa. Aku tak mengerti, mencoba mengerti tetapi sulit. Aku bahkan disebut-sebut mempengaruhi tumbuhnya rasa persatuan bangsa Indonesia.
            Aku teringat masa itu, bertahun-tahun sebelum diriku diresmikan menjadi bagian dari Indonesia kini. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari keberadaanku dan mulai mendengungkanku dalam kegiatan penjajahannya. Aku menjadi saksi bisu kisah-kisah tragis dibalik semangat warga pribumi yang berusaha keras mencapai kemerdekaannya. Aku, Melayu, menjadi penghubung antara pemerintah Hindia-Belanda dengan pegawai pribumi. Melihat potensiku, pemerintah mulai mempromosikanku di sekolah-sekolah zaman itu. Dalam diriku mulai terbentuk sebuah “embrio” dan secara perlahan aku mulai merasakan bahwa diriku akan terlahir kembali. Bukan, bukan sebagai Melayu seperti pertama di awal kisahku.
            Awal abad ke-20, “embrio” itu mulai berkembang dalam diriku sampai akhirnya diriku terpecah bersama “embrio” itu. Van Ophuijsen telahir bersama jiwaku yang baru. Tak lama setelah itu, Van Ophuijsen, separuh jiwaku ini mulai diperdengungkan dalam Kongres di Solo sekitar tahun 1983. Tak kusangka, kembali dengan diriku yang baru, ternyata mampu mempengaruhi pemerintah Hindia-Belanda untuk membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi.
            Makin hari diriku semakin berkembang. Bersama dengan perjuangan rakyat Indonesia, aku pun turut mencari jati diriku. Menyatu dalam percakapan-percakapan serius dan menantang dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, membuat diriku semakin menyadari bahwa aku ada dan akan terus ada dalam jiwa masyarakat Indonesia. Tonggak peresmianku mulai digemuruhkan di Nusantara. Dari imajinasi pikiran tanpa batas Muhammad Yamin, aku, Melayu, diberi gelar baru sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Dalam ikrar “Sumpah Pemuda”, 28 Oktober 1928, aku lahir sebagai bagian baru bangsa ini, bangsa Indonesia.
            Namun ku tak habis piker, aku memang tak hidup lagi dalam jeruji penjajahan semenjak tahun 1945 tetapi kian hari ku makin mengalami kehilangan yang namanya jati diri. Rasa bangga terhadap perjuangan para patriot memudar dalam sekejap. Aku mulai merasa bahwa diriku tak lagi seperti dulu, yang selalu diperdengungkan di setiap era. Entah apa yang terjadi, bukan masalah waktu yang terus berjalan, bukan pula masalah zaman yang senantiasa berkembang. Hanya saja aku merasa semangat untuk memperjuangkan kelangsungan hidupku kian tersendat, tercekik, menunggu mati dan menghilang. Aku tak berharap banyak dari kalian, penikmat kemerdekaan bangsa. Satu pinta ku, jangan lupakan Aku, ya? Bukan bermaksud ingin meninggikan hati tapi tanpa diriku apalah jadinya bangsa ini? Tak ada persatuan dan tak ada jaminan kemerdekaan.
            Ah… sedaritadi kusebut nama kecilku, mungkin beberapa dari kalian bingung dan tak mengenali diriku. Ku telah tuturkan kisahku dan aku bangga menyebut diriku sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Inilah aku, Bahasa Indonesia. (swn)
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar