Sebagian
besar siswa baik tingkat SD, SMP, maupun SMA/K menganggap matematika merupakan
mata pelajaran yang menyeramkan. Tak jarang banyak siswa yang membenci mata
pelajaran yang satu ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Ningki Sadu
Putra, remaja yang
belum genap berusia 19 tahun ini sangat tertarik terhadap matematika. Baginya
matematika ibarat sebuah game yang dikemas dalam bentuk angka dan logika.
koma pict : dari kiri swandari, Pradnya, & ningki
Cowok yang akrab
di panggil Ningki ini, mulai tertarik dengan matematika sejak ia duduk di kelas
5 SD. Pada saat itu, Ia mulai
mengerjakan soal-soal setara untuk anak SMP yang mustahil bagi bocah seumur
jagung seperti dirinya dapat menuntaskan soal tersebut. Tapi, itulah Ningki.
Rasa ingin tahu yang kuat membuatnya berhasil memecahkan soal tersebut. Seiring
berjalannya waktu, putra dari pasangan Gusti Nyoman Santika dan Desak Made
Maleni ini juga mulai tertarik mengikuti perlombaan yang ada kaitannya dengan
matematika. Pada tahun 2009 dan 2013, Ningki ikut berpartisipasi dalam kegiatan
tahunan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika UNDIKSHA yakni
kegiatan Gema Lomba Matematika atau yang akrab disebut GLM.
Ningki
mengungkapkan bahwa pertama kalinya dia mengikuti GLM ketika ia menginjak kelas
II SMP. "Pertama, saya mengikuti GLM karena
tuntutan dari sekolah untuk mengirim peserta terbaiknya dalam ajang ini. Kedua,
saya sangat menyukai matematika" ujar cowok berbintang gemini ini dengan
menyelipi beberapa gurauan ketika diwawancarai. Berkat usaha dan kerja
kerasnya, Ia mampu meraih juara 2 GLM kategori SMP tahun 2009 dan juara 1 GLM
kategori SMA tahun 2013 lalu. Meski ini menjadi hal yang pertama sekaligus baru
bagi dirinya namun ia mampu membuktikan bahwa kemampuannya ternyata melebihi
ekspektasi yang diharapkan. Percaya atau
tidak, selama perjalanannya mengikuti
lomba, tak satupun pernah ia temui kata 'gagal' untuk masuk ke babak final.
Ditanya mengenai persiapan yang dilakukan sebelum lomba, Ningki menjawab dengan
penuh antusias "Ya, persiapan itu tentu saja ada. Pembinaan intensif saat
pulang sekolah dilakukan satu bulan sebelum perlombaan dimulai. Di samping itu,
pembina pun memberikan sejumlah soal dengan tingkat kesulitan yang bervariasi
yaitu dari tingkat mudah,sedang, dan sulit". Namun, yang namanya manusia
pasti tak akan pernah luput dari kesulitan. Begitu pula dengan cowok kelahiran
Panji Anom ini, yang merasakan kesulitan ketika menemui soal-soal yang tidak
dapat dipecahkan oleh guru maupun dirinya. Sehingga efek sampingnya soal
tersebut akan terus terbayang-bayang dan membuat Ningki semakin penasaran
memecahkannya.
Selain pembinaan
intensif dari pihak sekolah, Ningki pun memiliki beberapa trik saat menjawab
pertanyaan yang ada dihadapannya. "Pertama kita bisa beranjak dari clue-clue tersembunyi yang ada pada soal. Lihat apakah yang diketahui di
sana, apa yang harus kita ketahui dan apa yang ditanyakan, kita harus mampu
membuat koneksi atau hubungan yang saling mengaitkan satu sama lain sehingga
mampu menarik kesimpulan guna mencari suatu penyelesaian yang tepat. Jika
memang penyelesaian soal itu tidak terpikirkan maka lebih baik untuk melewati
soal tersebut dan mulai kembali pada soal yang kita anggap mudah " tutur
Ningki.
Menurut Ningki ,
kegiatan GLM sudah sangat bagus dan semakin nyata perkembangannya. Tingkat
kesulitan soal pun dari tahun ke tahun semakin baik dan cocok untuk tingkat
kesulitan soal-soal olimpiade. Namun dirasa ada beberapa hal yang perlu
dibenahi dalam pelaksanaan GLM kedepannya. "Dari segi waktu, agar lebih
efektif dan efisien maka sebaiknya durasi waktu saat pengumuman dipercepat agar
peserta tidak merasa bosan " saran cowok kelahiran 9 juni 1995 ini. Ningki
juga menambahkan agar saat babak penyisihan memperhatikan kenyamanan peserta
lomba. "Buatlah suatu inovasi demi terciptanya kenyamanan tersebut dimana
ini merupakan tanggung jawab dari panitia pelaksana. Kenyamanan yang saya
maksudkan di sini adalah tempat pelaksanaan babak penyisihan di auditorium yang
membuat peserta 'ribet'. Peserta dituntut untuk membungkuk, saya pun bingung
bagaimana harus memulai bekerja jika saya sendiri merasa kurang nyaman dengan
kondisi yang seperti itu. Tapi, saya sadari hal ini terjadi karena terpatok
pada jumlah peserta yang mengikuti GLM dari tahun ke tahun semakin meningkat
sehingga tidak memungkinkan untuk melaksanakan babak penyisihan di ruang
kelas" ujarnya. Tapi, terlepas dari
kekurangan yang ada, cowok yang sempat menjadi peserta OSN tahun 2012 dan 2013
berturut-turut ini berharap kedepannya kegiatan GLM masih tetap berlangsung
bahkan dengan menyertakan terobosan-terobosan baru terhadap jenis soal, fasilitas
serta cara pelaksanaan. Di sini Ningki sangat berharap agar piala tetap sang
juara itu diperbesar ukurannya, bahkan kalau bisa pencarian juara ditambah sampai
6 besar, misalnya. "Saya sangat mengharapkan adanya sistem medali bagi
para pemenang. Jadi bukan hanya sekolah yang menerima piala, tapi para peserta
pun dapat berbangga akan medali yang mereka raih" harap cowok yang masih
berstatus pelajar di SMA Negeri 1 Singaraja ini.
Terakhir ketika
ditanya mengenai cita-cita , Ningki awalnya menjawab dengan sebuah gurauan yang
mengundang tawa dari tim redaksi. "Sesungguhnya cita-cita saya masih
ngambang" guraunya. "Tapi, jujur saya ingin menjadi pembina
olimpiade, alasannya sangat sederhana. Saat saya menjadi pembina olimpiade saya
akan semakin sering menemukan soal-soal dengan kualitas yang bagus dan saya
merasa lebih mudah untuk mengajar siswa yang sudah pintar, kita hanya mengasah
kepintaran mereka saja. Tidak perlu banyak mikir" tutup cowok dengan hobi
tidur dan nonton ini. (swandari, Pradnya & kana)