Senin, 20 Januari 2014

Cerpen : Kebahagiaan milik Riri



“Ri….” Terdengar suara lantang memanggil ku dari arah kantin. “Apa-an? Gawat banget!” tanya ku ketus. “Pinjem PR matematikaa donnnkkk….”pinta Vivi . “ishh,, emang kamu belum buat?” aku kembali berjalan menuju ruang kelas yang hanya beberapa langkah dari kantin. “makanya Ri,, aku pinjem yaahhh?” Vivi mencoba membujuk ku lagi, kali ini Vivi menyodorkan sebungkus roti strawberry padaku. Mungkin ia akan menyuap ku dengan roti kali ini, fikirku. “dasarrr! Tau aja kebisaaan ku yg setiap pagi belum makan!! Iya deh.. tuh ambil di tas ! bukunya pakek sampul warna ijo lumut ya!” Aku memutuskan untuk menerima sogokan Vivi  dan menyuruhnya untuk mengambil sendiri buku PR ku di dalam ransel hitam pemberian mama. Umur tas ku masih sangat muda, baru satu tahun sejak aku berulang tahun september lalu. Pagi ini sama seperti hari-hari biasanya, karena emang ga perna ada yang spesial di kelas ini. “Eh Ri…gimana ??” tanya Vivi tiba-tiba. Aku tak mengerti jelas apa yang ditanyakan olehnya. “Gimana apanya Vi..??”. tanyaku balik. “Itu masalah penyakit mu? Udah ada perubahan belom?”. Baru kali ini aku mendengar Vivi menanyakan hal seputar penyakit ku. Padahal tiap kali aku cerita ga perna di denger. Huft.. Gerutu ku dengan raut muka jengkel terhadap Vivi yang tak bisa kusembunyikan.  “Ga ada perubahan Vi,, kadang aku mikir kalo bentar lagi aku gak bakalan bisa bareng di kelas ini sama kalian lagi.Hampir tiap malem aku ga bisa tidur Vi, penyakit itu seakan-akan mengawasi ku agar aku selalu terjaga.” ucapku lirih dengan tanpa kusadari air mata ku mengalir deras pagi itu. Padahal aku udah janji buat ga nangis lagi apapun permasalahan yang sedang kuhadapi. “Kok kamu ngomong gitu, Ri..? Masalah sebesar apapun aku yakin pasti akan ada jalan keluarnya” vivi menenangkanku sejenak. Tapi air mata ku terus saja mengucur tanpa ada yang bisa menghentikannya. Semua teman-temanku heran, mereka bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya membuat ku menangis pagi ini? “Ri… coba deh kamu fikir, banyak orang-orang yang lebih menderita daripada kita diluar sana.Mereka gak punya tempat tinggal, makan hanya sekali bahkan bisa tak makan sama sekali, ada yang ga bisa sekolah, cacat, banyak Ri. Kita yang baru dikasi masalah sedikit sama Tuhan aja udah mengeluh. Kita tuh mestinya memperbanyak rasa bersyukur Ri, bukan malah mengeluh tiap detik!” Vivi mencoba untuk menyadarkan ku agar tabah menghadapi ini semua. “Kamu bener Vi.. tapi aku masih ga bisa ngebayangin ini semua terjadi sama aku dan keluarga ku Vi!! Apa salah ku dan keluarga ku? Semua itu ga ada yang bisa jawab Vi! Aku hanya bisa pasrah,kalo emang nasib ku MATI di usia muda ga apa deh, setidaknya aku udah siap" aku mengahapus semua air mataku dan berlari meninggalkan vivi di kelas lalu menuju toilet yang berada hanya beberapa meter dari kelasku , aku meninggalkan vivi yang sangat mengkhawatirkan diriku. Aku basuh mukaku dengan air keran, lalu kupandangi diriku lekat-lekat dalam sebuah cermin di depan washtafell penuh dengan coretan tangan-tangan jahil siswa kelas XII, entah sebagai tanda perpisahan karena mereka akan meninggalkan sekolah mereka tercinta atau just iseng aja. Tuhan…apa aku ga pantes buat bahagia selama hidupku? Bukankah setiap orang dilahirkan ke dunia ini untuk hidup bahagia bersama orang yang ia sayangi? Tapi, kenapa itu ga bisa terjadi buat ku? Aku sudah cukup menderita karena teman-teman mencibir ku  selama ini. Entah mengapa mereka seakan-akan tak pernah menerima aku di sekeliling mereka. Semuanya udah aku kasi buat mereka, mereka nyontek semua pekerjaan ku, bahkan mereka ngelunjak sama guru dan ngaku-ngaku bahwa itu semua mereka yang buat di rumah. Aku sudah cukup sabar tapi kesabaran orang ada batesnya. Aku tahu ga sepantesnya aku marah dan kesel terlahir sebagai anak pintar, tapi aku ga mau hanya karena itu aku jadi dijauhin karena aku ga mau bagi-bagi jawaban sama mereka, atau bahkan dibilang pelit. Sekarang aku selalu jadi serba salah. Ga dirumah dan di sekolah. Apa aku cuma bisa bikin orang-orang sekitar ku menyesal untuk memiliki ku? Aku gag ngerti Tuhan! Cobaan hidup ku memang begitu menyedihkan. Ucapku lirih.
“Ri…?? Kamu kenapa melamun di depan cermin sih? Kamu abis nangis ya?” tanya Ditya yang saat itu kebetulan lewat di depan toilet. “Ah.. eng-enggak apa-apa kok..” aku membuang senyum perih ku pada Ditya. Tuhan kenapa dia mesti muncul lagi. Aku sudah cukup sakit hati pas aku tahu ternyata ditya suka sama Tania dan memutuskan untuk nembak Tania saat jam pulang sekolah sungguh kejadian menyedihkan untukku setahun lalu. Sampai-sampai 5 gulung tisu aku habiskan hanya untuk menangisi Ditya. Vivi pun heran saat itu, aku yang masih mencintai Ditya tak ingin untuk melihatnya menyakiti hati Tania kalo seandainya aku kasi tau perasaan ku yang sebenarnya. Ditya ama Tania emang pasangan yang serasi yang tak mungkin terpisahkan. Aku iri pada Tania yang bisa memiliki Ditya seutuhnya. Sedangkan aku ? aku hanya bisa untuk melihat senyum Ditya dari jarak jauh. Hanya Vivi yang mengerti perasaan ku pada Ditya. Vivi juga yang bisa menjaga rahasia ini. Ditya.. andai aja kamu tau, aku sakit harus kaya gini terus dit, berpura-pura tersenyum. Aku pengen curhat dit ke kamu, tapi kurasa itu ga mungkin. Aku takut teman-teman menganggap ku cewek perebut pacar orang. Lirihku dalam hati. “Emm… balik ke kelas yuk??” ajakku lalu menarik lengan Ditya. Aku tau saat itu Ditya masih bingung padaku. Di kelas Vivi menatap ku dengan tampang penuh kecemasan. Ternyata ia sudah lama menungguku untuk kembali ke kelas. “Are you ok?” Vivi memastikan keadaan ku setelah ia melihat mataku yang sembab seperti berkantung dengan warna kehitaman menghiasi kelopak mataku. “Vi.. buat aku tersenyum sepanjang hari ini yah?? Aku ga mau sedih lagi Vi.” Pinta ku pada Vivi yang masih memperhatikan ku seperti dokter yang ingin memeriksa pasiennya. “Hemm.. okelahhh. Janji ya ga nangis lagi? Aku lagi ga ada duit pake beliin kamu balon hari ini. Heheh.. peace?” ledek Vivi. “Hahaha… kamu ini Vi. Emangnya aku anak kecil! Sekalian aja beliin aku lolipop!” aku mulai tersenyum riang saat itu meski ku tahu senyum itu belum sepenuhnya ikhlas tuk aku lontarkan. Yah .. setidaknya bisa untuk menutupi kesedihan ku detik itu juga. Meski aku juga tahu kesedihan itu ga bakal hilang.
Jam pelajaran pun usai. Sebelum pulang Aku dan Vivi mampir sebentar di dagang siomay. Kami memang sengaja menyisakan uang jajan kami untuk membeli siomay, karena siomay adalah makanan favorit kami berdua. Setelah vivi mengantarkan ku pulang, aku melihat tatapan matanya padaku, ia seakan-akan ingin memberitahu ku sesuatu tapi aku gak tau apa yang membuat Vivi mengurungkan niatnya. “Dadah…” vivi mengucapkan kalimat terakhir sebelum ia kembali ke rumahnya setelah mengantarkan ku. “Makasi ya, Vi!” aku bergegas masuk. Ku letakkan tas ransel ku di atas meja belajar dan ku lihat mama sedang sibuk dengan masakannya. Aku lelah, setelah habis kusantap siomay ku, aku segera beristirahat sebentar mencoba untuk tidur. Aku terbangun ketika mataku melihat jam beker putih yang di dalamnya terlukis gambar mickey mouse telah menunjukkan pukul 5 sore. Aku mengambil handuk lalu berangkat untuk membasuh seluruh tubuhku dengan air hangat yang sudah disiapkan mama. Waktu bergulir begitu cepat. Usai belajar, aku sekilas menoleh kearah jam dinding ku yang tampaknya sudah menunjukkan  pukul 11 malam. Aku beranjak ke kamar merebahkan tubuh ku di kasur dengan motif bunga berwarna biru itu. Aku takut untuk memejamkan mataku, serasa ada yang mengawasi ku malam ini dan ia bersiap untuk menyiksaku habis-habisan malam ini. Sesuatu yang ga perna aku tahu apa itu. Seribu bahkan triliun tanda tanya ku juga ga bakal bisa terjawab. Namun, tanpa sadar malam itu aku tertidur pulas. Aku terbangun ketika aku merasakan gatal, super-super gatal di tubuh ku melebihi gatal akibat ulat bulu bahkan sengatan lebah atau semut merah. Aku berfikir, malam ini penderitaan ku dimulai lagi, setelah beberapa hari sebelumnya aku merasakan hal yang sama dan tepat pada waktu yang sama, yaitu pukul 1 malam. Aku serasa berada di dalam dunia yang aku sendiri tak tau itu dimana. Bibir ku terasa kelu dan sulit sekali untuk memanggil nama mama. Aku ingin menangis tapi ga bisa, ingin berteriak terasa sangat sulit bibirku tuk mengucapkan sepatah kata apapun, seperti memang digembok dan kuncinya dibuang ke tempat yang ga bisa kujangkau. Aku hanya berdoa malam itu. Aku berharap pada Tuhan untuk bisa membebaskan ku dari penderitaan ini dan bisa tidur nyenyak malam ini berharap mentari segera memancarkan sinarnya.
“kriiiiiiiiiiinnnnnngggggggg…………….” Suara jam beker tepat disebelah telinga ku hampir saja membuatku terjatuh dari tempat tidur. “Sudah pagi?” aku bertanya-tanya dalam hati, apakah ini sungguh-sungguh mentari pagi? ini bukanlah sebuah tipuan ilusi kan? Tapi, secepat inikah? Aku baru bisa tidur jam setengah 3 pagi. Ini gak bisa dipercaya!! Aku masih ngantukkkkk! Tapi, aku juga gak mau balik ke malam dimana aku sama sekali tak bisa tidur dengan nyenyak. Hatiku berteriak, amarah ku meluap. Untung saja tak ada yang mendengar suara hatiku ini.  Dengan gontai aku pergi untuk membasuh tubuhku. Selesai mandi, aku buru-buru mengenakan seragam batik putih ku. Mengikat rambutku, mengoleskan sedikit bedak untuk mempercantik penampilan. Humh.. I’m finish. Well, inilah aku, begitu pandainya menyembunyikan apa yang terjadi sampai-sampai orangtua ku pun tak pernah mengetahui apa yang terjadi padaku. “Maaa….. aku berangkat dulu ya” aku melihat mama masih tertidur di ranjang nya, kasian mama tiap hari lelah mengurusi pekerjaannya. Aku jadi teringat saat mama tertipu oleh orang yang berkedok seorang pemilik suatu swalayan dari Jakarta yang mengatakan mama memenangkan doorprize dan akan diberikan hadiah sebuah motor. Aku masih ingat sekali kejadian itu, aku tak mempercayai orang itu, namun mama ? aku sendiri heran kenapa mama bisa begitu percaya dengannya. Aku mulai berfikir kalo mama terkena hipnotis melalui telepon. Dan ternyata dugaan ku benar, mama telah kehilangan uangnya hampir sejuta, itupun bisa lebih jika papa tidak bisa mencegah mama. Aku sedih sekali saat itu, membayangkan kembali uang mama yang raib, uang yang selama ini susah payah diperoleh nya. Mulai saat itu aku mulai belajar untuk hemat, supaya aku bisa memenuhi segala kebutuhan sekolah ku tanpa uang mama. Sekolah di sekolahan favorit aja udah bikin uang mama terkuras setiap bulannya. Biaya inilah biaya itulah .. humh,, tekad ku makin kuat untuk bisa ngebahagiain mama. Gumam ku. “Eh kamu Ri, mau berangkat ya?” mama terbangun dan sedikit mulai menyadari kehadiranku di depan pintu kamarnya. “Ia ma.. Riri berangkat dulu ya, hari ini aku ada les di sekolah ma, jadi pulangnya agak telat dikit. Bye ma.” kucium tangan lembut mama lalu bergegas pergi, aku ga ingin mama memergoki ku menangis.
Di sekolah Vivi sedang asyik dengan laptopnya, apalagi kalo bukan fb’an .."Hy, Vi.. sibuk banget. Pasti lagi chating ama bebeb mu ya?” aku mencoba untuk membuat Vivi beralih padaku. “ihh.. apaan seh?? Jadi pengen malu nih aku…” Vivi tersipu malu. haha.. aku berhasil membuat wajah Vivi jadi merah seperti abis berjemur seharian di depan tiang bendera sambil mengangkat salah satu kakinya, memegang kedua telinganya. Hahaha.. itulah yang sering dilakukan Pak Ardi terhadap kelakuan muridnya yang selalu meledeknya di kelas.. “Oya.. gimana Ri?? Semalem kumat lagi penyakit mu?” tanya Vivi. Pembicaraan kami beralih dari yang membicarakan bebebnya ke penyakit super aneh yang hinggap di tubuhku. “Hem.. bukan kumat lagi Vi. Lebih dari itu! Semalem aku sukses dibikin ga bisa tidur nyenyak, nih liattt! Mataku sipit banget kan? ini semua gara-gara aku cuma dapet tidur 3 jam tauk !” tuturku sambil menunjukkan kedua mataku yang sipit. “Udah coba ke orang pintar??” vivi bertanya hal yang sama seperti yang ditanyakan rosa, sahabatku pas smp. Ya.. karena selain Vivi yang tau, aku juga curhat ke rosa, aku gak kuat nanggung ini semua. Aku butuh tempat curhat, dan tempat yang pas untuk curhat itu adalah sahabat ku. Entah kenapa tempat itu bukanlah orangtua ku sendiri, mungkin aku tak mau menambah pikiran orangtua ku yang sudah cukup rumit dengan masalah yang menghampiri keluarga kami akhir-akhir ini. Pikirku. “Udah kali Vi. Dia bilang kalo aku ni ada yang ganggu!!” tiba-tiba aku merasa suasana pagi itu terasa mistis. Kalo cerita masalah orang pintar dan penyakit ku, aku jadi ingat saat pertama aku mendatangi rumah orang pintar itu. Siang itu aku, mama dan papa yang pergi ke orang pintar kepercayaan keluarga untuk menanyakan masalah penyakit ku. Tapi, entah kenapa aku merasa sangat sulit untuk bisa sampai ke rumah orang itu. Dari awal perjalanan ku selalu saja ada halangan. Aku sempat berfikir apa aku emang gak ditakdirkan buat sembuh? Sampai akhirnya setelah hampir 30 menit aku, mama dan papa muter-muter ga karuan, kita sampai di sebuah rumah yang ga cukup besar, ada mobil tua yang terparkir rapi di garasi dan seekor anjing putih dikerangkeng dekat pintu berpagar putih. Kami sempat menunggu 2 jam disana karena orang pintar itu sedang menangani pasiennya yang lain. 2 jam berlalu orang itu datang, ternyata dia seorang nenek tua. Aku, mama dan papa dipersilahkan masuk ke ruang praktiknya. Sungguh suasana yang mencekam ku rasakan, maklum ini pertama kalinya aku pergi ke orang ahli spiritual. Terdengar juga suara burung gagak yang sengaja ia pelihara di dalam rumahnya yang memekak telinga ku, huh.. gendang telingaku serasa hampir pecah. Ia menyuruh ku memasuki sebuah ruangan yang begitu penuh aura spiritual. Kemudian, ia melakukan suatu ritual yang membuat bulu kuduk ku merinding dan jantung ku berdebar sekencang mungkin. Bayangkan saja dia berbicara sendiri, sepertinya dia berbicara dengan “makhluk” yang hanya bisa dilihat olehnya. Aku takut setengah mati. Tiba-tiba.. ia membalikkan tubuhnya yang renta dan mulai berbicara pada kami “Ada yang mengganggu anak anda, pak, buk !” kata nenek itu. Aku gak tau harus berkata apa lagi saat itu. Hati ku tiba-tiba terasa amat sangat perih melebihi perihku pada Ditya. Aku mencoba menahan gumpalan air mata yang sudah ada di pelupuk mataku. “Lalu, siapa orang yang menyakiti anak saya?” mama mencoba menggali informasi lagi, namun nenek itu bilang nanti aku juga akan tau sendiri dalam mimpi. Namun, sampai saat ini aku tak pernah memimpikan orang itu. Aku masih di hinggapi seribu rasa penasaran ku.
 “Eh Ri… kok bengong? Ya udah ga usa terlalu dipikirin! Jajan yuk? Kamu pasti belum sarapan lagi kan?” ajak vivi. “Tapi, Vi..?” aku berusaha untuk menghentikan vivi, kasian dia masak aku nebeng makan mulu pake uang jajannya. Kan ga seru… “Udah, ga apa, ayok!” vivi menarik lenganku.
Usai pelajaran, kelasku ada les bahasa inggris, aku udah sempet ijin sama mama dan untungnya mama ngerti. “Ri.. kapan-kapan jalan-jalan, yuk?? Kan udah lama kita gak jj bareng. Mau ya?” bujuk Vivi. “Emm iya deh Vi.. tapi ga ampe lewat jam enam ya, kamu kan tau penyakit ku bakal kumat kapan aja” tegasku pada Vivi. “Iya,, aku juga tau kok. Emm .. tapi enaknya kemana ya?” vivi sangat asyik memikirkan kemana kami akan jj weekend nanti. “Engg.. ke pantai bagus kali ya? Ehh.. ga ke mall aja pasti lebih seru, bisa cuci mata, belanja-belanja” vivi masih sibuk mengoceh sendiri. Namun perhatian ku tertuju pada ditya yang sedang bercanda ria bersama Tania di depan kelas Tania. Perasaan ku kini tertusuk lebih dalam melihat kemesraan mereka. Ditya nampaknya sangat bahagia memiliki Tania, cewek cerdas, baik hati, cantik, lemah lembut dan tajir. Apa ditya akan sebahagia itu jika bersamaku? Kayanya ga mungkin. Aku ga seperti Tania yang super perfect di mata ditya. “Iiihhh.. Riri. Daritadi kamu ga denger aku ngomong ya?” vivi melambai-lambaikan tangannya tepat di wajahku, seketika membangunkan lamunan ku. “Liat apaan sih Ri??” vivi lalu menoleh ke mana pusat penglihatan ku mengarah. “Ri? Kamu masih mikirin ditya? Udah lah lupain aja! Kamu selama ini terus mikirin dia, tapi ditya?? Apa kamu bisa mastiin kalo dia bakal seperti kamu yang mikirin dia terus,hah? Bangun Ri!! Ditya udah jadi milik Tania.!!” tegas vivi. “Iya aku sadar vi. Tapi, aku ga bisa lupain dia!” aku menangis sejadi-jadinya saat itu untung saja ditya dan Tania ga denger suara tangisan ku. “Udah ayok jalan” vivi kembali menarik lenganku. “Apa?? Enggak ah vi.. aku ga mau lewat sana" aku melepaskan pegangan vivi, aku enggan tuk melewati ditya dan Tania yang tengah pacaran. “Ri.. ayolah. Kita gak mungkin muter ke amerika dulu kalo jalan menuju aula ya cuma ini !!” vivi kali ini benar, aku ga mungkin untuk menghindari mereka. Toh nantinya juga aku bakal ketemu mereka lagi. Kami mulai berjalan tepat di depan mereka lalu aku memberanikan diriku untuk menyapa ditya. “Hai.. dit. Gag les?” tanyaku sok ga merasakan kesedihan ketika  kehilangan ditya. “Ohh iya ..entar deh.” singkat ditya. Hanya itu? Sesingkat itukah? Aku merasa ditya memang sudah benar-benar melupakan ku. Kali ini aku yang menarik lengan vivi dan mempercepat langkah kami menuju aula sembari menunggu guru les kami.
Pelajaran Les hari ini ga masuk sama sekali di otakku. Perkataan ditya yang begitu singkat siang tadi begitu membuat ku yakin, bahwa dia benar-benar melupakan ku. Malam ini aku gak sempat buat baca buku untuk mata pelajaran esok. Kepalaku pusing memikirkan masalah ku yang semakin rumit. Aku tidur ditengah kehangatan sang bulan yang sedang bercengkrama bersama sang bitang.
Tapi.. sebelum mataku terpejam aku terngiang ucapan Vivi yang mengatakan ‘kita gak boleh banyak ngeluh, tapi perbanyak lah rasa terima kasih kita pada Tuhan’. Aku sadar selama ini aku banyak banget ngeluh, aku sekarang yakin bahwa setiap masalah pasti akan ada solusinya. Kebahagiaan yang dimiliki setiap insan bukanlah materi, tapi kasih sayang dan kehangatan bersama orang tersayang. Aku cuma hanya punya sedikit kebahagiaan yaitu mama dan papa. Oya satu lagi, Vivi yang selalu memberiku nasehat apapun masalah yang tengah kuhadapi. Aku janji ga akan menyia-nyiakan hidupku. Aku punya segudang impian yang belum ku raih yaitu ngebahagia-in mama dan papa. Cuma mama sama papa yang paling kusayang saat ini. TUHAN kumohon jangan ambil semua kebahagiaan Riri. Riri janji ga akan ngeluh lagi dan akan tetap tersenyum apapun masalah yang riri hadapi.
Selang waktu berjalan, penyakit yang menghantui hidup ku sedikit demi sedikit mulai menghilang dan kehidupan ku kembali berjalan normal. Dengan tekunnya, aku melakukan pengobatan serta mencoba melupakan Ditya. Cobaan ini membuat ku semakin mendekatkan diri dengan Tuhan. Kesembuhan itu pasti ada! aku yakin, yaa.. aku sangat yakin ! Tuhan memberikanku KEYAKINAN itu.
Kini, aku sudah sembuh total, sembuh fisik dan mental. Tapi, aku pun yakin penderitaan itu akan selalu membayangi kehidupanku, sekarang saatnya aku belajar lebih dewasa agar mampu menghadapinya, tanpa banyak mengeluh.

by :
Swandari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar