“Ri….”
Terdengar suara lantang memanggil ku dari arah kantin. “Apa-an? Gawat banget!”
tanya ku ketus. “Pinjem PR matematikaa donnnkkk….”pinta Vivi . “ishh,, emang
kamu belum buat?” aku kembali berjalan menuju ruang kelas yang hanya beberapa
langkah dari kantin. “makanya Ri,, aku pinjem yaahhh?” Vivi mencoba membujuk ku
lagi, kali ini Vivi menyodorkan sebungkus roti strawberry padaku. Mungkin ia
akan menyuap ku dengan roti kali ini, fikirku. “dasarrr! Tau aja kebisaaan ku yg
setiap pagi belum makan!! Iya deh.. tuh ambil di tas ! bukunya pakek sampul
warna ijo lumut ya!” Aku memutuskan untuk menerima sogokan Vivi dan menyuruhnya untuk mengambil sendiri buku PR
ku di dalam ransel hitam pemberian mama. Umur tas ku masih sangat muda, baru
satu tahun sejak aku berulang tahun september lalu. Pagi ini sama seperti
hari-hari biasanya, karena emang ga perna ada yang spesial di kelas ini. “Eh
Ri…gimana ??” tanya Vivi tiba-tiba. Aku tak mengerti jelas apa yang ditanyakan
olehnya. “Gimana apanya Vi..??”. tanyaku balik. “Itu masalah penyakit mu? Udah
ada perubahan belom?”. Baru kali ini aku mendengar Vivi menanyakan hal seputar
penyakit ku. Padahal tiap kali aku cerita ga perna di denger. Huft.. Gerutu ku
dengan raut muka jengkel terhadap Vivi yang tak bisa kusembunyikan. “Ga ada perubahan Vi,, kadang aku mikir kalo
bentar lagi aku gak bakalan bisa bareng di kelas ini sama kalian lagi.Hampir
tiap malem aku ga bisa tidur Vi, penyakit itu seakan-akan mengawasi ku agar aku
selalu terjaga.” ucapku lirih dengan tanpa kusadari air mata ku mengalir deras
pagi itu. Padahal aku udah janji buat ga nangis lagi apapun permasalahan yang
sedang kuhadapi. “Kok kamu ngomong gitu, Ri..? Masalah sebesar apapun aku yakin
pasti akan ada jalan keluarnya” vivi menenangkanku sejenak. Tapi air mata ku terus
saja mengucur tanpa ada yang bisa menghentikannya. Semua teman-temanku heran,
mereka bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya membuat ku menangis pagi
ini? “Ri… coba deh kamu fikir, banyak orang-orang yang lebih menderita daripada
kita diluar sana.Mereka gak punya tempat tinggal, makan hanya sekali bahkan bisa
tak makan sama sekali, ada yang ga bisa sekolah, cacat, banyak Ri. Kita yang
baru dikasi masalah sedikit sama Tuhan aja udah mengeluh. Kita tuh mestinya memperbanyak
rasa bersyukur Ri, bukan malah mengeluh tiap detik!” Vivi mencoba untuk
menyadarkan ku agar tabah menghadapi ini semua. “Kamu bener Vi.. tapi aku masih
ga bisa ngebayangin ini semua terjadi sama aku dan keluarga ku Vi!! Apa salah
ku dan keluarga ku? Semua itu ga ada yang bisa jawab Vi! Aku hanya bisa pasrah,kalo
emang nasib ku MATI di usia muda ga apa deh, setidaknya aku udah siap" aku
mengahapus semua air mataku dan berlari meninggalkan vivi di kelas lalu menuju
toilet yang berada hanya beberapa meter dari kelasku , aku meninggalkan vivi
yang sangat mengkhawatirkan diriku. Aku basuh mukaku dengan air keran, lalu
kupandangi diriku lekat-lekat dalam sebuah cermin di depan washtafell penuh
dengan coretan tangan-tangan jahil siswa kelas XII, entah sebagai tanda
perpisahan karena mereka akan meninggalkan sekolah mereka tercinta atau just
iseng aja. Tuhan…apa aku ga pantes buat bahagia selama hidupku? Bukankah setiap
orang dilahirkan ke dunia ini untuk hidup bahagia bersama orang yang ia
sayangi? Tapi, kenapa itu ga bisa terjadi buat ku? Aku sudah cukup menderita
karena teman-teman mencibir ku selama
ini. Entah mengapa mereka seakan-akan tak pernah menerima aku di sekeliling
mereka. Semuanya udah aku kasi buat mereka, mereka nyontek semua pekerjaan ku, bahkan
mereka ngelunjak sama guru dan ngaku-ngaku bahwa itu semua mereka yang buat di
rumah. Aku sudah cukup sabar tapi kesabaran orang ada batesnya. Aku tahu ga
sepantesnya aku marah dan kesel terlahir sebagai anak pintar, tapi aku ga mau
hanya karena itu aku jadi dijauhin karena aku ga mau bagi-bagi jawaban sama
mereka, atau bahkan dibilang pelit. Sekarang aku selalu jadi serba salah. Ga
dirumah dan di sekolah. Apa aku cuma bisa bikin orang-orang sekitar ku menyesal
untuk memiliki ku? Aku gag ngerti Tuhan! Cobaan hidup ku memang begitu
menyedihkan. Ucapku lirih.
“Ri…??
Kamu kenapa melamun di depan cermin sih? Kamu abis nangis ya?” tanya Ditya yang
saat itu kebetulan lewat di depan toilet. “Ah.. eng-enggak apa-apa kok..” aku
membuang senyum perih ku pada Ditya. Tuhan kenapa dia mesti muncul lagi. Aku
sudah cukup sakit hati pas aku tahu ternyata ditya suka sama Tania dan
memutuskan untuk nembak Tania saat jam pulang sekolah sungguh kejadian
menyedihkan untukku setahun lalu. Sampai-sampai 5 gulung tisu aku habiskan
hanya untuk menangisi Ditya. Vivi pun heran saat itu, aku yang masih mencintai
Ditya tak ingin untuk melihatnya menyakiti hati Tania kalo seandainya aku kasi
tau perasaan ku yang sebenarnya. Ditya ama Tania emang pasangan yang serasi
yang tak mungkin terpisahkan. Aku iri pada Tania yang bisa memiliki Ditya
seutuhnya. Sedangkan aku ? aku hanya bisa untuk melihat senyum Ditya dari jarak
jauh. Hanya Vivi yang mengerti perasaan ku pada Ditya. Vivi juga yang bisa
menjaga rahasia ini. Ditya.. andai aja kamu tau, aku sakit harus kaya gini
terus dit, berpura-pura tersenyum. Aku pengen curhat dit ke kamu, tapi kurasa
itu ga mungkin. Aku takut teman-teman menganggap ku cewek perebut pacar orang.
Lirihku dalam hati. “Emm… balik ke kelas yuk??” ajakku lalu menarik lengan Ditya.
Aku tau saat itu Ditya masih bingung padaku. Di kelas Vivi menatap ku dengan
tampang penuh kecemasan. Ternyata ia sudah lama menungguku untuk kembali ke
kelas. “Are you ok?” Vivi memastikan keadaan ku setelah ia melihat mataku yang
sembab seperti berkantung dengan warna kehitaman menghiasi kelopak mataku.
“Vi.. buat aku tersenyum sepanjang hari ini yah?? Aku ga mau sedih lagi Vi.” Pinta
ku pada Vivi yang masih memperhatikan ku seperti dokter yang ingin memeriksa
pasiennya. “Hemm.. okelahhh. Janji ya ga nangis lagi? Aku lagi ga ada duit pake
beliin kamu balon hari ini. Heheh.. peace?” ledek Vivi. “Hahaha… kamu ini Vi.
Emangnya aku anak kecil! Sekalian aja beliin aku lolipop!” aku mulai tersenyum
riang saat itu meski ku tahu senyum itu belum sepenuhnya ikhlas tuk aku
lontarkan. Yah .. setidaknya bisa untuk menutupi kesedihan ku detik itu juga. Meski
aku juga tahu kesedihan itu ga bakal hilang.
Jam
pelajaran pun usai. Sebelum pulang Aku dan Vivi mampir sebentar di dagang
siomay. Kami memang sengaja menyisakan uang jajan kami untuk membeli siomay,
karena siomay adalah makanan favorit kami berdua. Setelah vivi mengantarkan ku
pulang, aku melihat tatapan matanya padaku, ia seakan-akan ingin memberitahu ku
sesuatu tapi aku gak tau apa yang membuat Vivi mengurungkan niatnya. “Dadah…” vivi
mengucapkan kalimat terakhir sebelum ia kembali ke rumahnya setelah mengantarkan
ku. “Makasi ya, Vi!” aku bergegas masuk. Ku letakkan tas ransel ku di atas meja
belajar dan ku lihat mama sedang sibuk dengan masakannya. Aku lelah, setelah
habis kusantap siomay ku, aku segera beristirahat sebentar mencoba untuk tidur.
Aku terbangun ketika mataku melihat jam beker putih yang di dalamnya terlukis
gambar mickey mouse telah menunjukkan pukul 5 sore. Aku mengambil handuk lalu
berangkat untuk membasuh seluruh tubuhku dengan air hangat yang sudah disiapkan
mama. Waktu bergulir begitu cepat. Usai belajar, aku sekilas menoleh kearah jam
dinding ku yang tampaknya sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku beranjak ke kamar
merebahkan tubuh ku di kasur dengan motif bunga berwarna biru itu. Aku takut
untuk memejamkan mataku, serasa ada yang mengawasi ku malam ini dan ia bersiap
untuk menyiksaku habis-habisan malam ini. Sesuatu yang ga perna aku tahu apa itu.
Seribu bahkan triliun tanda tanya ku juga ga bakal bisa terjawab. Namun, tanpa
sadar malam itu aku tertidur pulas. Aku terbangun ketika aku merasakan gatal,
super-super gatal di tubuh ku melebihi gatal akibat ulat bulu bahkan sengatan
lebah atau semut merah. Aku berfikir, malam ini penderitaan ku dimulai lagi,
setelah beberapa hari sebelumnya aku merasakan hal yang sama dan tepat pada
waktu yang sama, yaitu pukul 1 malam. Aku serasa berada di dalam dunia yang aku
sendiri tak tau itu dimana. Bibir ku terasa kelu dan sulit sekali untuk
memanggil nama mama. Aku ingin menangis tapi ga bisa, ingin berteriak terasa
sangat sulit bibirku tuk mengucapkan sepatah kata apapun, seperti memang
digembok dan kuncinya dibuang ke tempat yang ga bisa kujangkau. Aku hanya
berdoa malam itu. Aku berharap pada Tuhan untuk bisa membebaskan ku dari
penderitaan ini dan bisa tidur nyenyak malam ini berharap mentari segera
memancarkan sinarnya.
“kriiiiiiiiiiinnnnnngggggggg…………….”
Suara jam beker tepat disebelah telinga ku hampir saja membuatku terjatuh dari
tempat tidur. “Sudah pagi?” aku bertanya-tanya dalam hati, apakah ini
sungguh-sungguh mentari pagi? ini bukanlah sebuah tipuan ilusi kan? Tapi, secepat
inikah? Aku baru bisa tidur jam setengah 3 pagi. Ini gak bisa dipercaya!! Aku
masih ngantukkkkk! Tapi, aku juga gak mau balik ke malam dimana aku sama sekali
tak bisa tidur dengan nyenyak. Hatiku berteriak, amarah ku meluap. Untung saja
tak ada yang mendengar suara hatiku ini. Dengan gontai aku pergi untuk membasuh
tubuhku. Selesai mandi, aku buru-buru mengenakan seragam batik putih ku.
Mengikat rambutku, mengoleskan sedikit bedak untuk mempercantik penampilan.
Humh.. I’m finish. Well, inilah aku, begitu pandainya menyembunyikan apa yang
terjadi sampai-sampai orangtua ku pun tak pernah mengetahui apa yang terjadi
padaku. “Maaa….. aku berangkat dulu ya” aku melihat mama masih tertidur di
ranjang nya, kasian mama tiap hari lelah mengurusi pekerjaannya. Aku jadi
teringat saat mama tertipu oleh orang yang berkedok seorang pemilik suatu
swalayan dari Jakarta yang mengatakan mama memenangkan doorprize dan akan diberikan
hadiah sebuah motor. Aku masih ingat sekali kejadian itu, aku tak mempercayai
orang itu, namun mama ? aku sendiri heran kenapa mama bisa begitu percaya
dengannya. Aku mulai berfikir kalo mama terkena hipnotis melalui telepon. Dan
ternyata dugaan ku benar, mama telah kehilangan uangnya hampir sejuta, itupun
bisa lebih jika papa tidak bisa mencegah mama. Aku sedih sekali saat itu,
membayangkan kembali uang mama yang raib, uang yang selama ini susah payah
diperoleh nya. Mulai saat itu aku mulai belajar untuk hemat, supaya aku bisa
memenuhi segala kebutuhan sekolah ku tanpa uang mama. Sekolah di sekolahan
favorit aja udah bikin uang mama terkuras setiap bulannya. Biaya inilah biaya itulah
.. humh,, tekad ku makin kuat untuk bisa ngebahagiain mama. Gumam ku. “Eh kamu
Ri, mau berangkat ya?” mama terbangun dan sedikit mulai menyadari kehadiranku
di depan pintu kamarnya. “Ia ma.. Riri berangkat dulu ya, hari ini aku ada les
di sekolah ma, jadi pulangnya agak telat dikit. Bye ma.” kucium tangan lembut
mama lalu bergegas pergi, aku ga ingin mama memergoki ku menangis.
Di
sekolah Vivi sedang asyik dengan laptopnya, apalagi kalo bukan fb’an
.."Hy, Vi.. sibuk banget. Pasti lagi chating ama bebeb mu ya?” aku mencoba
untuk membuat Vivi beralih padaku. “ihh.. apaan seh?? Jadi pengen malu nih
aku…” Vivi tersipu malu. haha.. aku berhasil membuat wajah Vivi jadi merah
seperti abis berjemur seharian di depan tiang bendera sambil mengangkat salah
satu kakinya, memegang kedua telinganya. Hahaha.. itulah yang sering dilakukan
Pak Ardi terhadap kelakuan muridnya yang selalu meledeknya di kelas.. “Oya..
gimana Ri?? Semalem kumat lagi penyakit mu?” tanya Vivi. Pembicaraan kami beralih
dari yang membicarakan bebebnya ke penyakit super aneh yang hinggap di tubuhku.
“Hem.. bukan kumat lagi Vi. Lebih dari itu! Semalem aku sukses dibikin ga bisa
tidur nyenyak, nih liattt! Mataku sipit banget kan? ini semua gara-gara aku cuma
dapet tidur 3 jam tauk !” tuturku sambil menunjukkan kedua mataku yang sipit.
“Udah coba ke orang pintar??” vivi bertanya hal yang sama seperti yang ditanyakan
rosa, sahabatku pas smp. Ya.. karena selain Vivi yang tau, aku juga curhat ke
rosa, aku gak kuat nanggung ini semua. Aku butuh tempat curhat, dan tempat yang
pas untuk curhat itu adalah sahabat ku. Entah kenapa tempat itu bukanlah
orangtua ku sendiri, mungkin aku tak mau menambah pikiran orangtua ku yang
sudah cukup rumit dengan masalah yang menghampiri keluarga kami akhir-akhir
ini. Pikirku. “Udah kali Vi. Dia bilang kalo aku ni ada yang ganggu!!”
tiba-tiba aku merasa suasana pagi itu terasa mistis. Kalo cerita masalah orang
pintar dan penyakit ku, aku jadi ingat saat pertama aku mendatangi rumah orang
pintar itu. Siang itu aku, mama dan papa yang pergi ke orang pintar kepercayaan
keluarga untuk menanyakan masalah penyakit ku. Tapi, entah kenapa aku merasa
sangat sulit untuk bisa sampai ke rumah orang itu. Dari awal perjalanan ku
selalu saja ada halangan. Aku sempat berfikir apa aku emang gak ditakdirkan
buat sembuh? Sampai akhirnya setelah hampir 30 menit aku, mama dan papa
muter-muter ga karuan, kita sampai di sebuah rumah yang ga cukup besar, ada
mobil tua yang terparkir rapi di garasi dan seekor anjing putih dikerangkeng
dekat pintu berpagar putih. Kami sempat menunggu 2 jam disana karena orang
pintar itu sedang menangani pasiennya yang lain. 2 jam berlalu orang itu
datang, ternyata dia seorang nenek tua. Aku, mama dan papa dipersilahkan masuk
ke ruang praktiknya. Sungguh suasana yang mencekam ku rasakan, maklum ini
pertama kalinya aku pergi ke orang ahli spiritual. Terdengar juga suara burung
gagak yang sengaja ia pelihara di dalam rumahnya yang memekak telinga ku, huh..
gendang telingaku serasa hampir pecah. Ia menyuruh ku memasuki sebuah ruangan
yang begitu penuh aura spiritual. Kemudian, ia melakukan suatu ritual yang
membuat bulu kuduk ku merinding dan jantung ku berdebar sekencang mungkin.
Bayangkan saja dia berbicara sendiri, sepertinya dia berbicara dengan “makhluk”
yang hanya bisa dilihat olehnya. Aku takut setengah mati. Tiba-tiba.. ia
membalikkan tubuhnya yang renta dan mulai berbicara pada kami “Ada yang
mengganggu anak anda, pak, buk !” kata nenek itu. Aku gak tau harus berkata apa
lagi saat itu. Hati ku tiba-tiba terasa amat sangat perih melebihi perihku pada
Ditya. Aku mencoba menahan gumpalan air mata yang sudah ada di pelupuk mataku.
“Lalu, siapa orang yang menyakiti anak saya?” mama mencoba menggali informasi
lagi, namun nenek itu bilang nanti aku juga akan tau sendiri dalam mimpi.
Namun, sampai saat ini aku tak pernah memimpikan orang itu. Aku masih di
hinggapi seribu rasa penasaran ku.
“Eh Ri… kok bengong? Ya udah ga usa terlalu
dipikirin! Jajan yuk? Kamu pasti belum sarapan lagi kan?” ajak vivi. “Tapi,
Vi..?” aku berusaha untuk menghentikan vivi, kasian dia masak aku nebeng makan
mulu pake uang jajannya. Kan ga seru… “Udah, ga apa, ayok!” vivi menarik
lenganku.
Usai
pelajaran, kelasku ada les bahasa inggris, aku udah sempet ijin sama mama dan
untungnya mama ngerti. “Ri.. kapan-kapan jalan-jalan, yuk?? Kan udah lama kita
gak jj bareng. Mau ya?” bujuk Vivi. “Emm iya deh Vi.. tapi ga ampe lewat jam enam
ya, kamu kan tau penyakit ku bakal kumat kapan aja” tegasku pada Vivi. “Iya,,
aku juga tau kok. Emm .. tapi enaknya kemana ya?” vivi sangat asyik memikirkan
kemana kami akan jj weekend nanti. “Engg.. ke pantai bagus kali ya? Ehh.. ga ke
mall aja pasti lebih seru, bisa cuci mata, belanja-belanja” vivi masih sibuk
mengoceh sendiri. Namun perhatian ku tertuju pada ditya yang sedang bercanda
ria bersama Tania di depan kelas Tania. Perasaan ku kini tertusuk lebih dalam
melihat kemesraan mereka. Ditya nampaknya sangat bahagia memiliki Tania, cewek
cerdas, baik hati, cantik, lemah lembut dan tajir. Apa ditya akan sebahagia itu
jika bersamaku? Kayanya ga mungkin. Aku ga seperti Tania yang super perfect di
mata ditya. “Iiihhh.. Riri. Daritadi kamu ga denger aku ngomong ya?” vivi
melambai-lambaikan tangannya tepat di wajahku, seketika membangunkan lamunan ku.
“Liat apaan sih Ri??” vivi lalu menoleh ke mana pusat penglihatan ku mengarah.
“Ri? Kamu masih mikirin ditya? Udah lah lupain aja! Kamu selama ini terus
mikirin dia, tapi ditya?? Apa kamu bisa mastiin kalo dia bakal seperti kamu
yang mikirin dia terus,hah? Bangun Ri!! Ditya udah jadi milik Tania.!!” tegas
vivi. “Iya aku sadar vi. Tapi, aku ga bisa lupain dia!” aku menangis
sejadi-jadinya saat itu untung saja ditya dan Tania ga denger suara tangisan
ku. “Udah ayok jalan” vivi kembali menarik lenganku. “Apa?? Enggak ah vi.. aku
ga mau lewat sana" aku melepaskan pegangan vivi, aku enggan tuk melewati
ditya dan Tania yang tengah pacaran. “Ri.. ayolah. Kita gak mungkin muter ke
amerika dulu kalo jalan menuju aula ya cuma ini !!” vivi kali ini benar, aku ga
mungkin untuk menghindari mereka. Toh nantinya juga aku bakal ketemu mereka
lagi. Kami mulai berjalan tepat di depan mereka lalu aku memberanikan diriku
untuk menyapa ditya. “Hai.. dit. Gag les?” tanyaku sok ga merasakan kesedihan ketika
kehilangan ditya. “Ohh iya ..entar deh.”
singkat ditya. Hanya itu? Sesingkat itukah? Aku merasa ditya memang sudah
benar-benar melupakan ku. Kali ini aku yang menarik lengan vivi dan mempercepat
langkah kami menuju aula sembari menunggu guru les kami.
Pelajaran
Les hari ini ga masuk sama sekali di otakku. Perkataan ditya yang begitu singkat
siang tadi begitu membuat ku yakin, bahwa dia benar-benar melupakan ku. Malam
ini aku gak sempat buat baca buku untuk mata pelajaran esok. Kepalaku pusing
memikirkan masalah ku yang semakin rumit. Aku tidur ditengah kehangatan sang
bulan yang sedang bercengkrama bersama sang bitang.
Tapi..
sebelum mataku terpejam aku terngiang ucapan Vivi yang mengatakan ‘kita
gak boleh banyak ngeluh, tapi perbanyak lah rasa terima kasih kita pada Tuhan’.
Aku sadar selama ini aku banyak banget ngeluh, aku sekarang yakin bahwa setiap
masalah pasti akan ada solusinya. Kebahagiaan yang dimiliki setiap insan
bukanlah materi, tapi kasih sayang dan kehangatan bersama orang tersayang. Aku
cuma hanya punya sedikit kebahagiaan yaitu mama dan papa. Oya satu lagi, Vivi
yang selalu memberiku nasehat apapun masalah yang tengah kuhadapi. Aku janji ga
akan menyia-nyiakan hidupku. Aku punya segudang impian yang belum ku raih yaitu
ngebahagia-in mama dan papa. Cuma mama sama papa yang paling kusayang saat ini.
TUHAN kumohon jangan ambil semua kebahagiaan Riri. Riri janji ga akan ngeluh
lagi dan akan tetap tersenyum apapun masalah yang riri hadapi.
Selang
waktu berjalan, penyakit yang menghantui hidup ku sedikit demi sedikit mulai
menghilang dan kehidupan ku kembali berjalan normal. Dengan tekunnya, aku
melakukan pengobatan serta mencoba melupakan Ditya. Cobaan ini membuat ku
semakin mendekatkan diri dengan Tuhan. Kesembuhan itu pasti ada! aku yakin,
yaa.. aku sangat yakin ! Tuhan memberikanku KEYAKINAN itu.
Kini,
aku sudah sembuh total, sembuh fisik dan mental. Tapi, aku pun yakin
penderitaan itu akan selalu membayangi kehidupanku, sekarang saatnya aku
belajar lebih dewasa agar mampu menghadapinya, tanpa banyak mengeluh.
Swandari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar