Minggu, 15 November 2015

Indonesia, Kisahku Hidup Dalam Jiwamu



Aku tidak istimewa, namun kisahku istimewa bagi mereka yang bertaruh nyawa memperjuangkanku. Jatuh bangun mempertahankanku hingga mengikrarkan sumpah demi menjamin kelangsungan hidupku. Akulah bagian sejati bangsa ini, bangsa Indonesia.
            Hidup dalam rumpun Austronesia, aku, mulai diperdengungkan di mata dunia sebagai lingua franca dalam kegiatan perdagangan dan keagamaan di Nusantara sejak abad ketujuh. Namaku tersohor hingga ke pelosok negara tetangga. Migrasi dari satu tempat ke tempat lain, menjadikanku jembatan bagi mereka yang ingin bercakap satu dengan yang lainnya. Aku sempat berpikir, siapakah orang yang pertama kali menyadari kehadiranku dan memperkenalkanku pada wajah-wajah baru dunia? Siapakah orang itu?  Apakah ia yang menulis catatan pertama di pesisir tenggara pulau Sumatera? Ataukah mereka yang tinggal dalam sebuah bangunan indah berukiran seni tanpa cacat yang disebut sebagai Kerajaan Malayu? Ah… siapa pun Beliau, aku berbangga hati untuk menyematkan rasa terimakasihku padanya.
            Saat itu, orang-orang memanggilku, Melayu. Aku bertandang ke seluruh pelosok Nusantara bersama dengan mereka, sosok pejuang yang menyebarkan pengaruh agama Islam di Nusantara. Tak kusangka aku mudah sekali diterima oleh masyarakat  Nusantara. Kudengar bahwa diriku menjadi penghubung antarsuku, antarkerajaan, antarpulau  dan  antarbangsa. Aku tak mengerti, mencoba mengerti tetapi sulit. Aku bahkan disebut-sebut mempengaruhi tumbuhnya rasa persatuan bangsa Indonesia.
            Aku teringat masa itu, bertahun-tahun sebelum diriku diresmikan menjadi bagian dari Indonesia kini. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari keberadaanku dan mulai mendengungkanku dalam kegiatan penjajahannya. Aku menjadi saksi bisu kisah-kisah tragis dibalik semangat warga pribumi yang berusaha keras mencapai kemerdekaannya. Aku, Melayu, menjadi penghubung antara pemerintah Hindia-Belanda dengan pegawai pribumi. Melihat potensiku, pemerintah mulai mempromosikanku di sekolah-sekolah zaman itu. Dalam diriku mulai terbentuk sebuah “embrio” dan secara perlahan aku mulai merasakan bahwa diriku akan terlahir kembali. Bukan, bukan sebagai Melayu seperti pertama di awal kisahku.
            Awal abad ke-20, “embrio” itu mulai berkembang dalam diriku sampai akhirnya diriku terpecah bersama “embrio” itu. Van Ophuijsen telahir bersama jiwaku yang baru. Tak lama setelah itu, Van Ophuijsen, separuh jiwaku ini mulai diperdengungkan dalam Kongres di Solo sekitar tahun 1983. Tak kusangka, kembali dengan diriku yang baru, ternyata mampu mempengaruhi pemerintah Hindia-Belanda untuk membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi.
            Makin hari diriku semakin berkembang. Bersama dengan perjuangan rakyat Indonesia, aku pun turut mencari jati diriku. Menyatu dalam percakapan-percakapan serius dan menantang dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, membuat diriku semakin menyadari bahwa aku ada dan akan terus ada dalam jiwa masyarakat Indonesia. Tonggak peresmianku mulai digemuruhkan di Nusantara. Dari imajinasi pikiran tanpa batas Muhammad Yamin, aku, Melayu, diberi gelar baru sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Dalam ikrar “Sumpah Pemuda”, 28 Oktober 1928, aku lahir sebagai bagian baru bangsa ini, bangsa Indonesia.
            Namun ku tak habis piker, aku memang tak hidup lagi dalam jeruji penjajahan semenjak tahun 1945 tetapi kian hari ku makin mengalami kehilangan yang namanya jati diri. Rasa bangga terhadap perjuangan para patriot memudar dalam sekejap. Aku mulai merasa bahwa diriku tak lagi seperti dulu, yang selalu diperdengungkan di setiap era. Entah apa yang terjadi, bukan masalah waktu yang terus berjalan, bukan pula masalah zaman yang senantiasa berkembang. Hanya saja aku merasa semangat untuk memperjuangkan kelangsungan hidupku kian tersendat, tercekik, menunggu mati dan menghilang. Aku tak berharap banyak dari kalian, penikmat kemerdekaan bangsa. Satu pinta ku, jangan lupakan Aku, ya? Bukan bermaksud ingin meninggikan hati tapi tanpa diriku apalah jadinya bangsa ini? Tak ada persatuan dan tak ada jaminan kemerdekaan.
            Ah… sedaritadi kusebut nama kecilku, mungkin beberapa dari kalian bingung dan tak mengenali diriku. Ku telah tuturkan kisahku dan aku bangga menyebut diriku sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Inilah aku, Bahasa Indonesia. (swn)
           

Selasa, 03 November 2015

Memandang Seperti Langit Dan Bersikap Seperti Bumi

KOMA ,Tetap Rendah Hati dan Ingin Terus Ukir Prestasi


Tak akan ada hasil yang mengkhianati usaha. Bukan, bukan hanya sebatas kalimat pelipur hati, sepenggal kalimat ini bak mantra yang menjalar dalam semangat tim KOMA, Jurnalistik HMJ Pendidikan Matematika. Sempat melintasi waktu yang membawa pada keraguan hati tapi KOMA tetap bangkit dan menunjukkan bahwa mereka layak menyandang gelar juara atas jerih payahnya.

Sumpah pemuda merupakan salah satu hari bersejarah bagi seluruh warga Indonesia tetapi dewasa ini justru minim akan antusiasme dari warga untuk memahami esensi sumpah pemuda tersebut. Bayangkan saja, generasi muda saat ditanyakan terkait isi sumpah pemuda masih terbata-bata dalam penyampaiannya, betul atau tidak? Mirisnya hampir sebagian besar warga menomorsekiankan perjuangan para patriot pembela bangsa. Bahkan untaian kata jangan sekali-sekali melupakan sejarah atau kerap didengungkan sebagai "JAS MERAH" oleh Soekarno pun hanya sebatas angin lalu di telinga masyarakat.
Berusaha untuk menanamkan rasa cinta pada tanah air, Fakultas Bahasa dan Seni Sastra Indonesia, UNDIKSHA melalui Ajang Kreativitas Mahasiswa (AKM) mengadakan beberapa kegiatan salah satunya lomba mini newspaper. Melalui kegiatan ini diharapkan generasi muda mampu memahami esensi sumpah pemuda melalui kegiatan menulis yang lebih menekankan pengunaan bahasa Indonesia dalam menciptakan karya-karya yang menarik namun sesuai dengan kaedah yang ada. Bukan suatu hal yang mudah lantaran menulis pun memerlukan kosa basa yang luas agar bisa menciptakan buah tulisan yang layak baca.
Berbekal pengalaman dari mini newspaper edisi 1, KOMA kembali dengan memberi sentuhan-sentuhan baru dalam terbitannya kali ini. Dengan komposisi tim yang baru dan dukungan rekan-rekan KOMA lainnya, rubrik demi rubrik pun digarap dengan optimal. Rubrik yang terdiri dari laput, tajuk, profil, feature dan karikatur pun akhirnya berhasil dirampungkan meski tahap editing kembali dilakukan beberapa jam sebelum pengumpulan. Swandari, ketua tim KOMA tahun ini mengungkapkan bahwa tahap editing gencar dilakukan untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan di mata dewan juri. ”Menulis bukanlah pekerjaan mudah, benar tidaknya pemilihan ejaan kata demi kata selalu menjadi sorotan. Bermain diksi agar tulisan menjadi lebih menarik namun tetap sesuai kaedah kebahasaan dan layout yang tepat dan sesuai aturan serta memiliki daya tarik pun tak luput jadi bahan yang terus dikaji dan diperbaiki”, tambah gadis berzodiak virgo ini.
Tim KOMA yang digawangi oleh Heni selaku pimpinan redaksi (pimred) bersama rekan satu timnya, Dwijayanti, Ayulita,Angga dan Merta tampil sebagai penampil pertama dalam kegiatan lomba mini newspaper yang diadakan di ruang teater kampus bawah, UNDIKSHA. Sempat mengalami kendala dengan bahan presentasi tak seutuhnya menyurutkan langkah tim KOMA untuk menampilkan yang terbaik. Presentasi yang dibawakan oleh Heni dan Ayulita ini pun diakhiri dengan komentar dari para dewan juri. Kritik dan saran yang membangun untuk keseluruhan isi dari KOMA mini newspaper edisi 2 pun diterima dengan sepenuh hati oleh mereka.
Meski sebagai penampil pertama, nyatanya tak dapat membuat hati lega karena telah melewati sesi presentasi. Melihat penampilan dari rekan-rekan jurusan lain justru menambah kekhawatiran tim yang dipimpin oleh Heni ini. “Saya khawatir karena salah satu rubrik mendapat banyak sekali kritik dari dewan juri, baik dari segi isi yang kurang optimal dan aturan yang belum sesuai”, tutur Dwijayanti. Walau demikian, gadis yang hobi mendengarkan musik ini mengaku tetap optimis akan kemenangan yang akan diraih timnya. Senada dengan Dwi, rasa optimis juga mengakar dalam pikiran Heni. “Optimis pasti menang, karena rubrik dari jurusan lain lebih fatal kesalahannya. Beberapa bahkan ada yang membuat rubrik jauh dari tema yang ditentukan oleh panitia”, ungkap Heni.
Menit demi menit berlalu hingga tibalah saat bagi juri untuk melakukan rekapan atas skor yang diperoleh seluruh peserta. Sistem lomba untuk tahun ini berbeda dari sebelumnya lantaran sistem saat ini menghendaki adanya perwakilan dari masing-masing tim untuk ikut serta menemani dewan juri melakukan rekapan nilai. Hal ini dilakukan guna mencegah kecurangan ataupun kecurigaan dari peserta terhadap penilaian dewan juri.  

Saat yang ditunggu para peserta pun tiba. Pewara terlebih dahulu mempersilahkan dewan juri untuk memberi masukan secara umum baik bagi panitia maupun peserta lomba. Acara kemudian dilanjutkan dengan pengumuman pemenang. Rasa gelisah kembali menghampiri peserta yang juga sudah tak sabar ingin memeluk piala yang ditempatkan di salah satu sudut area kegiatan kala itu.
Posisi ketiga jatuh di tangan HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan mini newspaper  bertajuk  PERSPEKTIF. Satu harapan untuk bertengger di posisi ketiga telah direbut.  KOMA kembali berharap setidaknya untuk dua posisi yang belum diumumkan oleh pewara. And well... posisi kedua berhasil diboyong oleh HMJ Pendidikan Matematika dengan KOMA mini newspaper  edisi 2-nya. Rasa haru antar anggota tim pecah seketika sambil mengiringi langkah Heni, sang pimred untuk mengukuhkan posisi di hadapan dewan juri saat itu. Dan posisi pertama harus direlakan untuk HMJ Pendidikan Fisika. Meski kecewa tidak mampu meraih posisi pertama dan dikalahkan oleh saudara serumpun, KOMA tetap bangga dengan pencapaiannya yang meningkat dari tahun sebelumnya yang harus puas menempati posisi empat. "Saya senang dan bangga mengikuti event ini. Pengetahuan baru dan kekompakkan merupakan pengalaman berharga yang saya dapatkan. Terimakasih KOMA", ujar Merta.
Rasa lelah yang sempat hinggap di antara para anggota tim pun terbayarkan dengan reward atas hasil kerja keras tim. Menyabet gelar sebagai juara II dalam kegiatan lomba mini newspaper tahun ini menjadi motivasi tersendiri untuk melakukan yang terbaik lagi pada event berikutnya. "Tahun depan harus juara I", sahut Angga yang hobi travelling ini saat diwawancarai. Ayulita menambahkan bahwa kritik dan saran dari dewan juri akan dijadikan motivasi bagi KOMA untuk membenahi diri dan melakukan yang terbaik lagi. Semoga tim KOMA bisa meningkatkan prestasinya dibidang menulis dan tetap rendah hati dengan pestasi yang diraih. Ibaratnya, memandanglah seperti langit dan bersikaplah seperti bumi, tambah gadis cantik berkacamata ini.
Well, ngaku anak muda? Yuk, berprestasi untuk memberikan yang terbaik bagi negeri ini, INDONESIA. (swn)

Jumat, 21 Agustus 2015

Gelar Sarjana : Amunisi Terjitu Menuju Kesuksesan, Benarkah?



Pendidikan merupakan salah satu hal yang selalu menjadi sorotan khususnya dalam Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia memang tak berada pada posisi terendah perihal pendidikan namun bukan berarti pemerintah berhenti memberikan kontribusinya terhadap pendidikan Indonesia. Hal ini lantaran pendidikan menjadi salah satu senjata yang paling ampuh yang bisa Anda gunakan untuk mengubah dunia, seperti diungkapkan oleh tokoh dunia, Nelson Mandela.
Berbicara mengenai pendidikan tentu tak lepas dari keberadaan tenaga pendidik. Ya, tenaga pendidik yang akrab disebut sebagai “guru/dosen” inilah yang diberi kepercayaan baik dari pemerintah maupun masyarakat untuk mendidik putra-putri Bangsa. Tak khayal, pemerintah mempersiapkan tenaga pendidik yang sebagian besar lahir dari perguruan-perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan akan sistem pendidikan itu sendiri. Dari tahun ke tahun keberadaan perguruan tinggi di Indonesia menamatkan hingga ribuan sarjana untuk semua prodi di seluruh Indonesia. Namun, apakah lapangan kerja yang ada sebanding dengan lulusan sarjana yang tersedia? Sebagian besar orang berpikir semakin tinggi titel yang disandang nama, maka semakin tinggi pula kesuksesan yang akan diraihnya. Tapi, dilansir dari situs hipwee.com, pendidikan tinggi tak menjamin kesuksesan seseorang namun tekad dan kerja keras adalah kunci penting meniti karir masa depan. Percaya atau  tidak, setiap orang berhak untuk berkomentar.
Jika kita  menilik  kembali perjuangan sebelum gelar sarjana disematkan maka yang  tampak adalah tekad kuat untuk sesegera mungkin menyelesaikan studi yang diambil. Hal itu tidak dapat dikatakan suatu hal yang salah tetapi proses pendidikan janganlah sampai dianggap seperti angin lalu. Pendewasaan diri sebelum terjun ke dunia kerja didapat apabila kita melalui proses tersebut dengan sungguh-sungguh. Bukan ijazah sarjana pondasi utama sukses di dunia kerja melainkan keuletan, sikap percaya  diri, integritas serta etos  kerja  menjadi beberapa amunisi terjitu untuk mencapai  kesuksesan dalam dunia kerja.
Meski  banyak orang memiliki gelar pendidikan tinggi, bukankah mereka  yang bertahan adalah orang-orang  yang  berdedikasi?  Seperti dikutip dari  wallsreetinsanity.com, ijazah  bukanlah jaminan kesuksesan. Beberapa  orang  bahkan  hanya  menggunakan  ijazah  hingga tahap interview  saja, selanjutnya? Tentu  saja, kepribadian yang baik seperti diataslah yang lebih menuntun Anda pada kesuksesan disamping dilihat dari kemampuan akademis Anda. Pemikiran-pemikiran dangkal seperti halnya Anda akan selalu mendapat pekerjaan hanya dengan sebuah gelar sarjana harus sedikit demi sedikit dihilangkan. Hidup tidak hanya sebatas menghitung kapan kesuksesan itu muncul dan pahamilah bahwa tahap tersulit bukanlah saat anda memulainya tetapi ketika anda melaluinya sehingga mampu mengakhirinya dengan baik. Gelar sarjana yang anda raih bukanlah akhir dari sebuah perjuangan, melainkan awal dari sebuah perjuangan baru yang harus anda selesaikan hingga akhir. You never too old to set another goal or to dream a new dream. Success isn’t only about having tons of money, but success is when we make others have hope.

Rabu, 19 Agustus 2015

Pelepasan Wisudawan/Wati Tahun 2015 : Keberhasilan mu, Kebanggaan ku

Kita tidak akan mengetahui seberapa besar kekuatan kita sebelum kita berani melakukan perjuangan maksimal untuk meraih impian besar, tulis  Merry Riana dalam akun twitter-nya @MerryRiana, sebuah pemikiran sederhana yang barangkali juga terbesit dalam sanubari para wisudawan/wati  yang hadir pada selasa, 18 Agustus 2015 di  acara pelepasan wisudawan/wati malam lalu. Sebuah langkah  dan  babak baru pun segera dimulai. Impian menyandang gelar S.Pd dan beranjak ke impian berikutnya pun telah menanti yakni memulai pengabdian diri  bagi bangsa Indonesia khususnya dalam hal pendidikan yang nyatanya adalah salah satu impian besar yang tak hanya mengandalkan kemampuan tetapi jauh yang tak kalah penting untuk diingat bahwa sebuah pekerjaan impian memerlukan kesetiaan semangat dan rasa cinta saat prosesnya sedang berjalan. 

Selasa, 18 Agustus 2015 lalu HMJ Pendidikan Matematika menggelar sebuah acara untuk melepas para calon wisudawan/wati yang rencananya akan diwisuda pada penghujung Agustus ini. Acara yang diselenggarakan di Auditorium UNDIKSHA ini mengemas beberapa kegiatan menarik di dalamnya sebagai persembahan spesial bagi mereka ke-63 wisudawan/wati yang hadir malam itu. Tari  Buratwangi tampil sebagai  pembuka acara  yang  diketuai oleh I Made Widiastika ini. Gerakan gemulai penari pun membius perhatian penonton yang terdiri dari ketua jurusan HMJ Pendidikan Matematika, undangan dosen, ketua HMJ se-lingkugan FMIPA, dan anggota aktif HMJ Pendidikan Matematika. Acara pun dilanjutkan dengan laporan ketua panitia pelepasan. Meski masih menginjak semester tiga, I Made Widiastika, tak ragu untuk mengambil tanggung jawab sebagai ketua pantia tahun ini. Selanjutnya, acara dibuka dengan penyampaian sambutan dari ketua jurusan Pendidikan Matematika, Dra. Gusti Ayu Mahayukti, M.Si. Riuh tepuk tangan penonton pun memberi atmosfer tersendiri saat Beliau menyampaikan beberapa kesannya terhadap perjuangan para wisudawan/wati malam itu. 

Acara yang ditunggu-tunggu pun tiba, penyerahan vandel bagi mereka para wisudawan/wati.  Sebuah vandel cantik terukirkan gelar S.Pd mengekor  usai  nama wisudawan/wati mampu memahat senyum  sumringah yang mulai menghiasi kesukesan yang mereka raih. Pelepasan yang mengusung tema “Keberhasilanmu, Kebanggaanku” ini pun berlanjut dengan sesi foto bersama. Selanjutnya, dengan dipandu oleh Bagus Ardhana  dan Meisa sebagai MC malam itu, mengundang dua orang  sosok yang akan  menjadi panutan jiwa kepemipinannya, yang akan kita rindukan saran-saran kritisnya serta masih banyak hal yang akan kita kenang dari sosok mereka untuk menyampaikan sepatah dua patah kesan dan pesannya selama berada dalam keluarga Matriks. Mereka adalah Adi Wirayana dan Made Andi Laksana. 

Malam semakin  larut  tapi  keseruan  acara sesungguhnya  masih  belum  terjamah. Usai makan malam yang ditemani  musik acoustic dari  Agus Wawan dan kawan-kawan, acara pun berlanjut ke sebuah  persembahan anggota HMJ Pendidikan Matematika yakni  operet  bertajuk “Kasih  Tak Sampai” yang mengenalkan kita pada kisah cinta  si  kaya  dan si  miskin yang berakhir  happy ending, meski  Denis (anak orang kaya) yang diperankan oleh Koji dan Dijah (anak orang miskin) yang diperankan oleh Mely tidak berakhir dengan hidup bersama. Alur cerita dirancang sangat rapi tanpa meninggalkan beberapa adegan yang cukup menguras tawa penonton. Keseruan berlanjut saat pemenang beberapa nominasi award dibacakan, ya mulai dari nominasi wisudawan/wati ternarsis, ter-unyu, terseksi, tergalak, dan ter-alay. Publik pun  dibuat bertanya-tanya oleh  MC malam itu. Dan akhirnya pemenang pun ditetapkan, bak mendapat award ala-ala selebriti, pemenang pun memberikan beberapa kesannya. Dengan bangga award  sebagai wisudawan ternarsis  disabet oleh  Dewa Pratama, ter-unyu diraih oleh Adi Wirayana,  terseksi  dipegang  oleh  Deviana, tergalak dengan  puas diraih  oleh  Andi  Laksana serta ter-alay dengan tak  terduga  disabet  oleh  Prima.

Memandang  waktu yang  kian larut, ada  beberapa  acara  yang mesti di-cut  dari susunan acara oleh kepanitian. Tapi, hal ini bukanlah menjadi masalah besar lantaran acara berrikutnya pun tak kalah menarik. Usai penampilan dance, acara pun dilanjutkan dengan pemutaran video dokumenter ramah tamah jurusan Pndidikan Matematika Tahun 2011. Kenangan itu pun mulai terngiang d benak para wisudawan/wati. Adanya tingkah kocak dalam video tersebut tak khayal mengundang gelak tawa penonton hingga terpingkal-pingkal. Namun, keseruan nampaknya harus berakhir usai penampilan persembahan dari perwakilan wisudawan/wati, Selasa lalu. Acara pun usai.

Ini bukanlah sebuah akhir, tapi sebuah awal yang baru bagi kalian para wisudawan/wati. Harumkan nama almamater, jadilah pribadi yang lebih untuk impian besarmu. Terimakasih atas semangat yang kalian beri, motivasi yang selalu membuat kami berani, kritik yang membuat kami, adik mu untuk membenah diri, suka duka yang menjadi cerita tak terlupakan. Terima kasih. Keberhasilan mu, Kebanggaan ku. Matriks JAYA !!

swandari

The Queen Of My Heart

Ibu
Ribuan canda tawa
Jutaan kata yang kadang tak serasi dengan mu
Akan selalu menjadi kenangan dalam pikir ku

Maaf Bu
Maaf untuk semua hal yang ku lakukan
Maaf  untuk memarahimu
Maaf untuk sikap ku yang kadang mendengkik mu terlalu keras
Maaf untuk keras kepalanya diriku
Maaf untuk tak menurutimu
Maaf untuk tidak menghiraukan perkataan mu
Maaf untuk tidak mengantar mu pergi ke pasar
Maaf karena aku jarang menelepon mu
Maaf karena aku menutup telepon lebih dahulu
Maaf atas kekhawatiran mu
Maaf untuk cuek nya sikap ku pada mu
Maaf karena aku tak bisa menghibur mu saat dirimu kesakitan
Maaf atas kesepiannya dirimu
Maaf  atas segala keluhan ku
Maaf karena aku tak bisa katakan bahwa aku sayang ibu
Aku sangat sangat minta maaf

Ibu
Aku tak bisa menyampaikan ini secara langsung padamu
Aku sungguh minta maaf
Bukan aku tak menghargai segala jerih payah mu
Bukan ku tak perduli atas segala keringatmu
Aku hanya tak punya cukup keberanian untuk megatakan bahwa aku menyayangimu lebih dari siapa pun
Jangan perah berpikir aku tak memandang mu
Jangan pernah berpikir aku jauh dari mu
Ku selalu disini
Di hati mu

Ibu
Aku tak perduli semiskin apa diri kita
Aku tak perduli meski kita hanya hidup dalam sebuah rumah kardus
Aku tak perduli lagi pada caci maki mereka para penguasa
Aku hanya ingin hidup mencintai mu, ibu

Hal yang paling ku banggakan adalah menjadi anak mu
Dan
Sulit ku akui
Hal yang paling ku sesali  adalah menjadi anak mu
Aku tak tahu kehendak Tuhan
Tapi,
Cepat atau lambat, entah dirimu atau diriku

Aku hanya ingin
Kau tetap menjadi ibu ku di masa yang akan datang
You’re still the queen of my heart


Anakmu
swn

Jumat, 14 Agustus 2015

Kesan Untukmu, Singaraja-ku



Singaraja, yup siapa sih yang gak kenal kota yang satu ini? Gak cuma Kuta, suguhan panorama indah Pulau Bali pun terpancar melalui spot-spot alam yang ada di kota kecil Bali Utara ini. Tapi nih guys, gak hanya alam nya aja yang membuat kota ini mampu menyedot perhatian masyarakat luar kota. Prestasi peserta didik disini juga patut diacungi jempol karena mampu menjadi daya tarik tersendiri di dunia pendidikan Indonesia khususnya Bali. Sehingga, tak khayal kota ini dijuluki sebagai kota pendidikan. Niar salah satu mahasiswi jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, UNDIKSHA pun mengakui hal serupa. “Gak heran sih ya kalo dapet julukan seperti itu. Sekolah-sekolah di tempat ini kualitasnya sudah sangat baik sehingga mampu menghasilkan lulusan terbaik yang dimiliki Bali”, ujar gadis berkacamata ini. Jalanan kota yang masih dalam kategori asri dan belum sepadat serta semacet daerah Kuta pun menjadi salah satu alasan gadis berbintang gemini ini memilih untuk melanjutkan studinya ke Singaraja.
Nah guys udah pada tau kan, bahasa juga menjadi salah satu aspek pendidikan di Indonesia. Bicara bahasa dan Singaraja pasti langsung terbesit bahasa pergaulan masyarakatnya , ya gak sih? Yup, kata-kata yang identik menjadi sebuah bahasa kasar di beberapa daerah justru malah menjadi santapan sehari-hari telinga kita ketika berada di kota Singaraja. Lalu, ada gak sih pro kontra terkait penggunaan bahasa antara masyarakat pendatang dan masyarakat asli Singaraja? Niar, gadis kelahiran Denpasar ini pun angkat bicara, “Bagiku yang juga bertitle sebagai pendatang di kota ini, bahasa memang merupakan media komunikasi yang penting. Ya, anggap saja kalau bahasa itu adalah tiket utama mu untuk bisa bersosialisasi dengan baik di  daerah yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya.”
“Awalnya,  aku merasa kikuk banget pas lagi kumpul-kumpul bareng temen. Mereka ngobrolnya udah sampai Z sedangkan aku masih stay di A. Jadi, kesannya seperti orang yang ketinggalan kereta dan gak keburu untuk ngejar,” canda Niar.
Niar pun menambahkan bahwa dirinya gak mau ambil pusing terkait bahasa pergaulan di Singaraja yang notabenenya berbasa bali “kasar”, selama tidak menyinggung perasaan pendengar dan mereka bisa menjelaskan makna di balik ucapan tersebut.
“Singaraja memang gak akan habisnya jika dikupas lebih dalam. Yang pasti, Singaraja adalah rumah kedua bagi ku karena disini aku menemukan hal-hal baru, teman baru, keluarga baru serta mengenal ragam budaya yang ada di kota pendidikan ini,” tutupnya.
Swandari